Kapal perang jenis corvette SIGMA pesanan TNI AL yang dibuat di galangan kapal Schelde, Belanda diluncurkan dari dok kering untuk penyelesaian lebih lanjut. Kedua kapal perang tersebut diluncurkan dalam sebuah acara seremonial yang diantaranya dihadiri oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia Juwono Sudarsono. Pada Acara tersebut kedua kapal dengan nomor lambung 365 dan 366 mendapatkan nama masing-masing KRI Diponegoro (365) dan KRI Hasanuddin (366).
Meski telah "turun" dari dok kering, kedua kapal masih akan melalui proses panjang sebelum diserahkan kepada pemerintah Indonesia cq. TNI AL pada tahun 2007. Berdasarkan kabar yang tersiar sebelumnya kedua kapan akan dilengkapi dengan meriam 76mm Super Rapid buatan OTO Melara Italia, rudal anti kapal (SSM) Harpoon buatan Amerika, rudal pertahanan udara (SAM) stinger buatan amerika, meriam 20mm buatan GIAT perancis, dan arsenal lain buatan Belanda. Meski begitu belum ada yang akurat sampai saat ini spesifikasi yang pada akhirnya akan diterapkan pada Corvette (selanjutnya disebut Korvet) terbaru Indonesia ini, baik dalam hal persenjataan maupun dalam hal avionik (radar, sensor, FCS dll). Sejatinya Korvet SIGMA adalah sebuah kapal perang yang telah menganut konsep peperangan modern. Dapat dilihat dari bentuknya yang mengikuti prinsip "stealth" yang minim tonjolan layaknya Frigate La Fayette milik AL Perancis maupun Visby kepunyaan AL Swedia. Korvet SIGMA didesain dengan konsep modular yang memungkinkan pabrikan membangun beberapa jenis kapal seperti FAC, OPV, korvet, sampai frigate (light frigate) menggunakan satu struktur dasar lambung. Sama dengan konsep Korvet MEKO yang dikembangkan di Jerman dan menjadi pilihan Malaysia untuk memperkuat armada lautnya.
Kedua kapal merupakan bagian dari kontrak pembelian 4 buah kapal sejenis yang ditandatangani pemerintah Indonesia di jaman kepemimpinan Presiden Megawati dengan pihak pabrikan yaitu Schelde Naval Shipyard, Belanda. Dalam kontrak pembelian tersebut disepakati bahwa 2 buah kapal terakhir akan dibuat di galangan kapal PT. PAL, Surabaya, Jawa Timur dengan bantuan tenaga ahli dari Schelde dengan harapan terjadi alih tekhnologi untuk mendukung program pembuatan Korvet Nasional yang telah menjadi agenda pemerintah untuk menuju kemandirian militer.
Sempat terdengar berita bahwa pihak TNI-AL sebagai pemakai Alutsista tersebut pernah menyampaikan kepada pemerintah keinginannya untuk mengganti dua Korvet yang belum diproduksi dengan produk lain, terutama produk-produk dari Rusia, karena memang dengan nilai yang sama produk yang akan didapat dari Rusia akan lebih "berat" kelasnya daripada Korvet, walaupun belum tentu akan lebih baik. Kira-kira perbandingannya adalah, bila di Belanda TNI mendapat Korvet maka dari Rusia akan didapat minimum sebuah Frigate yang notabene berada satu tingkat kelasnya diatas Korvet, usulan ini terkait dengan kunjungan delegasi Indonesia ke Rusia beberapa waktu lalu dan kesediaan pemerintah Rusia memberikan Kredit Ekspor (KE) untuk pembiayaan pembelian alat-alat militer dari Rusia.
Terlepas dari permasalahan yang menyertai pembelian keempat Korvet tersebut, sungguh suatu hal yang menggembirakan melihat 2 buah kapal perang baru dengan indentitas Indonesia. Hampir 10 tahun TNI AL tidak melakukan pembelian alutsista "berat". Terakhir kali TNI AL mendapatkan tambahan kekuatan untuk menjaga perairan Indonesia adalah tahun 1997 ketika mendapatkan "durian runtuh" dibelikan 39 "kapal perang" bekas oleh pemerintah dari Jerman Timur yang sudah bubar. Apabila dihitung berdasarkan pembelian kapal perang "baru" sekelas Korvet terakhir kali dilakukan pada saat pembelian KRI Ki Hajar Dewantara (364) Training Frigate dari galangan Kapal Uljanic, Split, Yugoslavia di tahun 1981-1982. Sudah selayaknya kita sedikit bersyukur dengan akan tibanya 2 Korvet tersebut.
Sebagai sebuah negara maritim, bahkan diakui oleh dunia internasional sebagai "Archipelago State (Negara Kepulauan)" sepatutnya Indonesia dengan tidak mengecilkan arti dan kemampuan 2 angkatan lain di matra darat dan udara, memiliki sebuah Angkatan Laut yang kuat. Dengan status sebagai negara kepulauan (apakah ada negara lain yang menyandang status ini?) Indonesia memiliki wilayah kedaulatan berupa perairan yang lebih luas daripada wilayah daratannya, ditambah dengan adanya 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) sungguh banyak tantangan yang dihadapi oleh TNI AL, dari mulai maling ikan, penyelundupan, perompakan, maling harta karun sampai dengan sengketa garis kedaulatan seperti yang terjadi dengan Malaysia di Ambalat. Sekitar Rp. 30 Trilyun (sekitar 3 Milyar Dollar) potensi pendapatan negara yang hilang tiap tahun akibat kejahatan-kejahatan tersebut. Suatu jumlah yang sangat fantastis, bila dihitung kita bisa membeli 3 buah Korvet SIGMA tiap tahun (nilai kontrak pengadaan 4 korvet kabarnya $1,9 Miyar melalui KE thn 2005-2009, yang sebenarnya agak aneh bila dibandingkan pembelian 5 Frigate F100 oleh AL Spanyol dengan total kontrak senilai $ 1,4 Milyar ?) atau 8-9 buah Su-30 tiap tahun. Sebenarnya kehilangan potensi tersebut dapat dicegah, tentunya dengan kemauan politik dari pemerintah, legislatif dan segenap elemen masyarakat. Pada intinya agar kita tidak harus tertunduk malu kepada nenek moyang kita, yang konon seorang pelaut.
Jalesveva Jayamahe (masalahnya di laut yang mana?)
Glossary :
KRI : Kapal Republik Indonesia
SSM : Surface to Surface Missile
SAM : Surface to Air Missile
FCS : Fire Control System
FAC : Fast Attack Craft
OPV : Offshore Patrol Vessels
Acknowledgements:
- Forum Militer KASKUS